GRESIK – Gelombang penolakan akibat polemik bongkar muat batu bara PT Gresik Jasa Tama (GJT) masih terus berlanjut. Selain ingin terlepas dari bayang-bayang operasi bongkar muat batu bara, masyarakat ingin memperjuangkan petok tanah yang puluhan tahun mereka tempati. Simpang siur beredar, beberapa lahan yang ditempati warga di sekitaran pelabuhan adalah lahan milik Pelabuhan Indonesia III (Pelindo III). Banyak warga yang belum memiliki sertifikat atas tanah yang ditinggalinya selama ini.
Salah satu warga Titik Parwati Hesti mengatakan, selain menginginkan operasional bongkar muat batu bara direlokasi, masih ada warga yang memperjuangkan sertifikat tanah, meski lahan tersebut masih petok.
“Tidak ada lagi pihak-pihak yang mengganggu keberadaan kami sebagai warga negara karena mempunyai kekuatan hukum sendiri atas tanah yang ditinggali,” ujarnya.
Diakui, lahan yang ditempati warga sebagian milik Pelindo. Namun, sifatnya hanya surat keputusan pelaksana harian (SK PLH) yang ada ketentuannya. “Di antaranya ada batas waktu, dan sekarang sudah expired. Sudah memberi balas harga tanah ke warga yang sebelumnya menempati,” tandasnya. Tanah tersebut tidak bersengketa dengan Pelindo namun merupakan tanah milik negara.
Hal tersebut nampaknya juga sesuai dengan keterangan yang diperoleh dari DPM PTSP dan pimpinan PT GJT. Sebelumnya, didapati keterangan Pelindo III belum mampu menunjukkan alas hak atau sertifikat tanah untuk mengurus izin mendirikan bangunan (IMB). Namun, dikabarnya sekarang dalam proses pengurusan di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Gresik. Beberapa hari yang lalu, warga dari desa Kemuteran, Lumpur dan Kroman sudah memberi kuasa kepad Hariyadi. Warga menitipkan aspirasinya agar bongkar muat batu bara di GJT dihentikan secara total dan direlokasi ke tempat lain.
“Selain itu kuasa untuk mengurus sertifikat tanah yang telah ditinggali masyarakat berpuluh-puluh tahun,” ujar Hariyadi yang merupakan mantan anggota DPRD Gresik dua periode dari partai PKB itu.(yud/han)