25 C
Gresik
Thursday, 30 March 2023

Kementrian ESDM Bentuk Tim untuk Percepat Pembangunan Smelter JIIPE

GRESIK – Pemerintah melalui Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan membentuk tim khusus untuk mendorong agar pembangunan Smelter di JIIPE segera selesai. Sebab, pemerintah melihat manajemen PT Freeport Indonesia terlalu lambat dalam merealisasikan Smelter di Indonesia.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan, bersama PT Freeport Indonesia pemerintah saat ini tengah mengumpulkan tim pakar dan ahli untuk menghitung kembali biaya investasi yang akan dikucurkan Freeport dalam membangun Smelter. Sebab, besarnya biaya investasi hingga mencapai 3 miliar dollar AS atau setara Rp 52 triliun menjadi hambatan utama perusahaan asal Amerika itu dalam merealisasikan pembangunan Smelter.

“Freeport selama ini bilang pembangunan Smelter ini rugi. Tentu jika rugi harusnya Smelter di seluruh dunia juga tutup,” kata Ridwan dalam kunjungan kerjanya bersama manajemen PT Freeport di Gresik, kemarin.

Ridwan menjabarkan, PT Freeport Indonesia pada tahun 2020 mencatat hasil penjualan hingga 3,4 miliar dollar AS. Dari hasil ini pemerintah berkesimpulan jika pembangunan Smelter baru yang menelan biaya 3 miliar dollar AS akan balik modal dalam kurun waktu satu tahun.

“Sudahlah kita jangan dibohongi. Dibandingkan hasil penjualan tahun lalu, investasi ini masih berada di bawahnya,” tutur Ridwan dengan tersenyum.

Oleh sebab itu, pemerintah tidak akan merubah deadline penyelesaian proyek yakni pada 2023 mendatang. Meski demikian pihyaknya berpotensi memberi relaksasi apabila memang pengerjaan mengalami hambatan akibat pandemi Covid-19.

“Smelter Freeport tetap sesuai undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara] memerintahkan harus selesai 3 tahun. Semua smelter harus selesai 2023. Kalau ada kendala akibat Covid 19 kami pertimbangkan opsi lain, tetapi target 2023 harus sudah selesai,” tegasnya

Sementara itu, Vice President PT Freeport Indonesia, Harry Pancasakti menegaskan pihaknya berkomitmen untuk menyelesaikan pembangunan Smelter di Indonesia. Sesuai dengan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) adalah melakukan ekspansi 30 persen atau 300.000 ton konsentrat per tahun. Salah alternatif yang dipilih yakni melakukan pengembangan fasilitas smelter tembaga milik PT Smelting di Gresik, yang sahamnya dimiliki Freeport Indonesia sebesar 25 persen.

“Sambil terus mengevaluasi pengembangan smelter baru di Gresik kami juga tengah berdiskusi dengan pihak ketiga untuk mengembangkan kapasitas smelter baru di lokasi alternatif lain,” kata dia.

Menurutnya, Gresik merupakan daerah yang paling ideal dari semua opsi yang ditawarkan. Sebab, pembangunan Smelter juga harus dibarengi dengan pembangunan pabrik asam sulfat karena hasil pembakaran konsentrat akan menciptakan limbah B3 sehingga harus ditangkap dan diolah.

“Jika dibangun di Gresik kerugiannya lebih kecil karena di sini sudah ada pabrik asam sulfat milik Petrokimia. Namun jika dibangun di wilayah lain tentu investasinya akan bertambah besar. Sehingga sejauh ini kami masih terus mendorong pembangunan disini meskipun progresnya masih 6 persen,” tandasnya. (fir/rof)

GRESIK – Pemerintah melalui Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan membentuk tim khusus untuk mendorong agar pembangunan Smelter di JIIPE segera selesai. Sebab, pemerintah melihat manajemen PT Freeport Indonesia terlalu lambat dalam merealisasikan Smelter di Indonesia.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan, bersama PT Freeport Indonesia pemerintah saat ini tengah mengumpulkan tim pakar dan ahli untuk menghitung kembali biaya investasi yang akan dikucurkan Freeport dalam membangun Smelter. Sebab, besarnya biaya investasi hingga mencapai 3 miliar dollar AS atau setara Rp 52 triliun menjadi hambatan utama perusahaan asal Amerika itu dalam merealisasikan pembangunan Smelter.

“Freeport selama ini bilang pembangunan Smelter ini rugi. Tentu jika rugi harusnya Smelter di seluruh dunia juga tutup,” kata Ridwan dalam kunjungan kerjanya bersama manajemen PT Freeport di Gresik, kemarin.

-

Ridwan menjabarkan, PT Freeport Indonesia pada tahun 2020 mencatat hasil penjualan hingga 3,4 miliar dollar AS. Dari hasil ini pemerintah berkesimpulan jika pembangunan Smelter baru yang menelan biaya 3 miliar dollar AS akan balik modal dalam kurun waktu satu tahun.

“Sudahlah kita jangan dibohongi. Dibandingkan hasil penjualan tahun lalu, investasi ini masih berada di bawahnya,” tutur Ridwan dengan tersenyum.

Oleh sebab itu, pemerintah tidak akan merubah deadline penyelesaian proyek yakni pada 2023 mendatang. Meski demikian pihyaknya berpotensi memberi relaksasi apabila memang pengerjaan mengalami hambatan akibat pandemi Covid-19.

“Smelter Freeport tetap sesuai undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara] memerintahkan harus selesai 3 tahun. Semua smelter harus selesai 2023. Kalau ada kendala akibat Covid 19 kami pertimbangkan opsi lain, tetapi target 2023 harus sudah selesai,” tegasnya

Sementara itu, Vice President PT Freeport Indonesia, Harry Pancasakti menegaskan pihaknya berkomitmen untuk menyelesaikan pembangunan Smelter di Indonesia. Sesuai dengan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) adalah melakukan ekspansi 30 persen atau 300.000 ton konsentrat per tahun. Salah alternatif yang dipilih yakni melakukan pengembangan fasilitas smelter tembaga milik PT Smelting di Gresik, yang sahamnya dimiliki Freeport Indonesia sebesar 25 persen.

“Sambil terus mengevaluasi pengembangan smelter baru di Gresik kami juga tengah berdiskusi dengan pihak ketiga untuk mengembangkan kapasitas smelter baru di lokasi alternatif lain,” kata dia.

Menurutnya, Gresik merupakan daerah yang paling ideal dari semua opsi yang ditawarkan. Sebab, pembangunan Smelter juga harus dibarengi dengan pembangunan pabrik asam sulfat karena hasil pembakaran konsentrat akan menciptakan limbah B3 sehingga harus ditangkap dan diolah.

“Jika dibangun di Gresik kerugiannya lebih kecil karena di sini sudah ada pabrik asam sulfat milik Petrokimia. Namun jika dibangun di wilayah lain tentu investasinya akan bertambah besar. Sehingga sejauh ini kami masih terus mendorong pembangunan disini meskipun progresnya masih 6 persen,” tandasnya. (fir/rof)

Most Read

Berita Terbaru